Tiba-tiba pintu kamar kost-ku
terbuka. Tanpa ketuk pintu, tanpa
salam, orang tengil ini menyeruak
dengan senyum yang dimanis-
manisin, seolah meledek aku yang
barusan terkejut, sampai hampir
membuang buku yang sedang
kubaca.
"Ada makanan?" tanyanya tanpa
merasa bersalah. Sejurus kemudian
kulihat ia tersenyum sumringah,
menatap beberapa makanan yang
ada di dekatku.
"Kebiasaan! Tanggal 1-10 ngilang tak
kelihatan tahi lalatnya, tanggal 10-20
ngenes dengan alasan ngirit. Pasti
tanggal 20 sampai habis bulan ujung-
ujungnya pinjam duit. Hemmm ...."
"Kok tahu?" ucapnya cuek.
Jelas ini membuat aku berpikir harus
berpura-pura sibuk, agar dia lekas
pergi.
"Bagi pisangnya dong ...!" ujarnya
lagi, tanpa hiraukan perasaanku.
"Saya belum makan malam, lho."
ucapku demi melihat pisang satu-
satunya telah diraihnya, dan siap
dikupas.

"Setidaknya, kerupuk boleh, dong?!"
ucapnya memelas. Diletakkannya
pisang itu seraya meraih sebungkus
kerupuk pedas, camilanku.
"Kang Wino! Saya bosan dengan
sikapmu! Nggak nyaman, tahu!"
ucapku menggertak.
Busyet! Ia malah memakan kerupuk
itu tak acuh. Sambil berdiri
memandangi dinding di samping
pintu.

"Mabok." ucapnya, jelas membuatku
makin emosi.
"Saya serius nih! Udah nggak sopan,
memaki lagi!"
"Bagus. Majalah tembok. Kreatif."
Agak malu juga aku, ketika tahu
maksudnya. Mungkin suara berisik
kerupuk yang ia makan, mengganggu
kelancaran pendengarannya, semoga.
"Ini pasti Serabinya Zhee . Imut, ya.
Sayang gue sudah punya istri. Kalau
tidak, tentu gue rayu juga." ucapnya
mengomentari foto yang kupajang.
Foto kenangan saat jumpa darat Meja
Pop Team.

Kuletakkan buku Putik Desemberku di
atas tivi. Kuambil gadgetku yang
sedang terhubung pada charger.
Maksudku hendak sms Julian Toni .
Biar malamku semakin penuh derita.
Dibully mereka berdua, siapa tahu
dapat menghapus dosa.

"Siapa? Julian? Memang dia masih
punya uang? Nggak mungkin, Ziz!"
ucapnya seolah tahu gelagatku.
Hemmm ...
Meski hampir larut malam, terpaksa
aku pura-pura mengambil alat pel.
Kubersihkan bekas pijak kakinya agar
ia tersinggung dan segera angkat
kaki.

"Nggak capek, Ziz? Kayak nggak ada
waktu aja. Sudah malam, pamali ...!"
Rasa-rasanya ingin sekali
mendaratkan alat pel ini pada
mukanya. Tapi, apa aku berani
melakukannya? Sedangkan dia telah
menjadi kakak iparku? Entahlah.
Mungkin aku sedang apes, mendapat
kakak ipar sesableng dia. Atau dia
yang apes. Punya adik ipar macam
aku yang membencinya. Bisa jadi.

Winosena Arsyad

Previous
Next Post »
Terima kasih sudah berkomentar